Ancaman Pelanggaran Hak Cipta di Era Digital Bagi Pelaku Usaha

Ancaman Pelanggaran Hak Cipta di Era Digital Bagi Pelaku Usaha

“Pelanggaran hak cipta di era digital dapat menyebabkan denda besar, tuntutan pidana, hingga kerusakan reputasi bisnis. Pastikan Anda tidak menggunakan karya tanpa izin dalam bisnis digital.”

Di era digital, hampir semua pelaku bisnis, baik startup, e-commerce, maupun konten kreator mengandalkan materi kreatif seperti gambar, video, musik, hingga tulisan untuk memperkuat brand dan menarik pelanggan. Namun, di balik kemudahan mengakses dan membagikan konten online, tersembunyi risiko besar bila sebuah karya digunakan tanpa izin resmi pemegang hak cipta. Pelanggaran hak cipta tidak hanya menimbulkan kerugian materiil bagi pencipta, tetapi juga dapat menyeret pelaku usaha ke ranah hukum pidana, perdata, hingga sanksi administratif. 

Definisi dan Dasar Hukum Hak Cipta

Hak Cipta dalam konteks hukum Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menurut Pasal 1 angka 1 UU tersebut, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta atas hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang timbul secara otomatis tanpa harus dilakukan pendaftaran.

Ruang lingkupnya sangat luas Meliputi, antara lain, hak ekonomi seperti:

  1. Penerbitan dan penggandaan karya dalam segala bentu;
  2. Penerjemahan, adaptasi, aransemen, dan transformasi; dan
  3. Distribusi, pertunjukan, pengumuman, komunikasi, dan penyewaan.

Karena bersifat “deklaratif”, hak cipta melekat sejak karya diwujudkan dalam bentuk nyata, tanpa perlu dibukukan atau dicatatkan. Namun, untuk mempermudah pembuktian kepemilikan, pencatatan pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham tetap disarankan.

Selain UU Hak Cipta, aturan mengenai sanksi pelanggaran Hak Cipta juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021), dan Peraturan Bersama MenkumHAM dan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2015 dan Nomor 26 Thn 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik.

Jenis Pelanggaran Hak Cipta dalam Bisnis Digital

Dalam praktik bisnis digital, bentuk pelanggaran yang sering muncul meliputi:

  1. Penggunaan tanpa izin untuk kepentingan komersial
    Misalnya, memanfaatkan gambar, video, atau background musik berlisensi tanpa membeli lisensi atau meminta izin, untuk materi promosi website atau media sosial. Hal ini melanggar hak ekonomi sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Cipta.
  2. Penggandaan atau distribusi tidak berizin
    Menyediakan salinan e-book, software, atau materi multimedia di platform e-commerce atau forum unduhan. Termasuk pelanggaran Pasal 9 ayat (1) huruf b dan e UU Hak Cipta.
  3. Pengadaptasian dan pentransformasian tanpa persetujuan
    Mengubah subtitle film, mengaransemen ulang musik, atau membuat karya turunan (derivative works) tanpa izin pencipta asli, padahal tetap melekat hak ekonomi.
  4. Layanan konten streaming illegal
    Menyajikan film, serial, atau musik melalui situs atau aplikasi yang tidak berlisensi. Kasus seperti IndoXXI, yang sempat masif diakses masyarakat, adalah contoh pelanggaran massal hak cipta dalam sistem elektronik.
  5. Penyediaan link atau embedding konten ilegal
    Meski terkesan “hanya” membagikan link, apabila konten aslinya berisi materi berhak cipta tanpa izin, pemilik platform juga dapat dipidana 

Sanksi Hukum Berdasarkan UU Hak Cipta

UU Hak Cipta mengatur delik aduan untuk penuntutan pidana, serta sanksi perdata dan administratif. Beberapa poin penting:

  • Pasal 112: Pelanggaran perbuatan sebagaimana Pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk penggunaan komersial dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda hingga Rp 300 juta .
  • Pasal 113: Berbagai tingkatan pelanggaran hak ekonomi:
    1. Ayat (1): Pidana penjara hingga 1 tahun dan/atau denda Rp 100 juta (pelanggaran ringan)
    2. Ayat (2): Penjara hingga 3 tahun dan/atau denda Rp 500 juta
    3. Ayat (3): Penjara hingga 4 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar
    4. Ayat (4): Jika dalam bentuk pembajakan, penjara hingga 10 tahun dan/atau denda Rp 4 miliar.
  • Pasal 114: Pengelola tempat perdagangan (termasuk marketplace) yang diketahui membiarkan penjualan barang bajakan di tempatnya dapat dipidana denda hingga Rp 100 juta.

Selain pidana, pelaku dapat menghadapi gugatan perdata untuk ganti rugi materiil (kerugian terbukti) dan immateriil (kerusakan reputasi), serta kewajiban memusnahkan salinan ilegal.

Sanksi Administratif dan Pemblokiran Konten

Selain sanksi pidana dan perdata, ada pula mekanisme penegakan administratif di ranah elektronik. Pada Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI & Menteri Kominfo Nomor 14 Tahun 2015 dan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten Dan/Atau Hak Akses Pengguna Pelanggaran Hak Cipta Dan/Atau Hak Terkait Dalam Sistem Elektronik, diatur tata cara penutupan konten dan/atau pemblokiran akses terhadap situs yang memuat pelanggaran hak cipta.

  • Prosedur Laporan: Pemegang hak atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) mengirimkan laporan pelanggaran ke DJKI Kemenkumham.
  • Verifikasi: DJKI memverifikasi laporan dalam waktu singkat (sering disebut 5×24 jam).
  • Pemblokiran: Setelah diverifikasi, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual berkoordinasi dengan ISP untuk memblokir akses terhadap konten/situs bersangkutan.

Dampak dan Risiko Bisnis Digital

Menggunakan karya tanpa izin dalam bisnis digital menimbulkan berbagai risiko:

  1. Kerugian Finansial
    1. Denda besar dan biaya pengadilan.
    2. Ganti rugi dalam gugatan perdata yang bisa melampaui puluhan miliar rupiah.
  2. Risiko Reputasi
    1. Publikasi perkara hukum dapat merusak kepercayaan konsumen dan mitra bisnis.
    2. Di era media sosial, berita pelanggaran berpotensi viral.
  3. Gangguan Operasional
    1. Pemblokiran konten atau situs dapat menghentikan layanan, menurunkan traffic, dan omset penjualan.
    2. Penghapusan konten dari platform (mis. YouTube takedown) dapat memutus saluran pemasaran.
  4. Risiko Kepatuhan
    1. Perusahaan publik atau yang akan IPO dapat terhambat oleh temuan due diligence terkait pelanggaran hak cipta.
    2. Investor institusional menyoroti aspek kepatuhan hukum sebagai indikator manajemen risiko.
  5. Risiko Teknologi
    Serangan balik (counterclaim) atau distributed denial-of-service (DDoS) oleh kelompok pendukung pembajakan (jarang tetapi pernah terjadi).

Contoh Kasus di Indonesia

  • Situs IndoXXI: Platform streaming film ilegal terpopuler di Asia Tenggara, akhirnya ditutup dan domainnya diblokir berulang kali oleh Kominfo. Meskipun begitu, pelaku terus beroperasi dengan mengganti domain dan server, menunjukkan tantangan enforcement dalam ranah digital.
  • Pembajakan Musik di Kafe/Restoran: Banyak pengusaha F&B memutar musik berhak cipta tanpa izin LMK. Setelah laporan, beberapa wajib membayar denda administrasi dan royalti terutang kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Pelanggaran hak cipta dalam bisnis digital membawa konsekuensi hukum dan bisnis yang serius, seperti denda besar, ancaman pidana penjara, kerusakan reputasi, hingga gangguan operasional melalui pemblokiran konten. Dengan memahami ketentuan UU Hak Cipta, PP 56/2021, serta Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM & Kominfo (2015), pelaku usaha dapat menerapkan langkah pencegahan yang efektif, mulai dari membeli lisensi, audit konten, hingga kebijakan internal. Kepatuhan bukan hanya soal menghindar sanksi, tetapi juga bagian dari strategi bisnis jangka panjang untuk membangun citra dan kepercayaan konsumen.

Lindungi Hak Cipta, Tingkatkan Kepercayaan Pelanggan! Jangan biarkan konten tanpa izin mengancam bisnis Anda. GOLAW.id siap membantu Anda untuk konsultasi kepatuhan Hak Cipta. Hubungi kami melalui sales@golaw.id atau klik disini sekarang juga!

Artikel Terkait