Bisakah Merek Dagang Digadaikan di Bank? Begini Aturan di Indonesia
“Jaminan fidusia memungkinkan merek dagang terdaftar menjadi agunan kredit, meski praktiknya masih terbatas pada agunan tambahan karena tantangan valuasi dan prosedur eksekusi.”
Dalam dunia bisnis modern, merek dagang (brand) tidak hanya sekadar simbol pengenal produk atau jasa perusahaan, tetapi juga menjadi aset berharga yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Banyak pengusaha telah berhasil membangun merek yang dikenal luas oleh masyarakat, sehingga merek tersebut memiliki nilai jual tersendiri yang terkadang bahkan melampaui nilai aset fisik yang dimiliki perusahaan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan menarik, apakah merek yang sudah terdaftar secara resmi dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman atau digadaikan di bank? Secara prinsip bisa, tetapi melalui mekanisme jaminan fidusia, bukan gadai biasa, dimana dilakukan dengan syarat khusus dan tantangan tersendiri.
Dasar Hukum: Fidusia dan UU Merek
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) mengatur jaminan atas benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud. Dalam teori hukum, merek sebagai hak tak berwujud termasuk jenis benda bergerak yang boleh dijaminkan secara fidusia. UUJF Pasal 9 menyatakan jaminan fidusia dapat diberikan atas benda bergerak tak berwujud, sehingga HKI (termasuk merek dagang) memenuhi syarat dijaminkan. Dengan kata lain, pemilik merek bisa memindahkan hak kepemilikan merek secara fidusia kepada bank (kreditur), sementara penguasaan (penggunaan) merek tetap di tangan pemilik selama kredit berjalan.
Sementara itu, Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengakui bahwa pemilik merek terdaftar memperoleh hak eksklusif dan dapat mengalihkan hak merek tersebut (melalui perjanjian, warisan, hibah, dan lain-lain).
Panduan Regulasi dan Dukungan Pemerintah
Secara umum, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak membatasi jenis agunan yang boleh diterima bank. Artinya, selama bank menilai layak, ia dapat menerima jenis agunan baru seperti HKI. Bahkan, OJK telah mendukung penggunaan HKI sebagai agunan dalam praktik perbankan. Misalnya, OJK mengeluarkan surat edaran dan siaran pers yang mendorong implementasi amanat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif (PP 24/2022) agar HKI bisa dipakai sebagai agunan kredit.
Dalam PP tersebut diatur syarat minimal: pemohon kredit harus memiliki usaha kreatif, proposal pembiayaan, dan HKI yang terdaftar (memiliki sertifikat) serta sudah dikelola secara komersial (misalnya sudah ada perjanjian lisensi) (Pasal 7 ayat (2) PP 24/2022). Dengan adanya PP 24/2022, tersedia landasan hukum spesifik agar merek (dan HKI lain) dapat menjadi objek pembiayaan berbasis kekayaan intelektual.
Praktik Perbankan Saat Ini
Dalam praktiknya di Indonesia, beberapa bank telah mulai menerima merek sebagai agunan tambahan, meski belum sebagai agunan utama kredit. Studi akademis menyebutkan misalnya Bank BNI (konvensional) yang pernah menerima hak merek sebagai objek jaminan fidusia, serta Bank Muamalat yang pernah mempraktekan hak merek sebagai jaminan gadai.
Namun, kedua bank itu hanya menerima merek sebagai jaminan pelengkap, bukan agunan utama. Artinya, pinjaman tetap ditopang agunan utama lain (seperti harta bergerak/tidak bergerak biasa), dan merek dipakai untuk menaikkan nilai total jaminan.
Ringkasnya, bank lebih menyikapi merek seperti aset tambahan yang mendukung kemampuan bayar debitur. Syaratnya, merek harus memenuhi kriteria bank untuk agunan: terdaftar secara sah, memiliki nilai ekonomi yang jelas (misalnya merek sudah dikomersialkan), dan dapat dieksekusi jika debitur wanprestasi. Bank akan meminta penilaian (valuasi) merek untuk mengetahui nilai agunannya.
Prosedur Pengikatan Merek sebagai Jaminan
- Penandatanganan Akta
Debitur (pemilik merek) dan bank menandatangani Akta Jaminan Fidusia di hadapan notaris, yang memuat keterangan objek fidusia (merek dagang). - Pendaftaran Elektronik
Akta Jaminan Fidusia tersebut didaftarkan secara elektronik melalui sistem Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham. - Verifikasi Administrasi
Kemenkumham melakukan verifikasi dokumen dan kebenaran data pendaftaran. - Penerbitan Sertifikat
Setelah lulus verifikasi, debitur memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia yang telah terdaftar atas nama penerima fidusia (bank). - Bukti Hak Fidusia
Sertifikat Jaminan Fidusia menjadi bukti sah bahwa hak fidusia atas merek dagang telah diberlakukan.
Sebelum itu, debitur harus memastikan merek telah teregistrasi dan mendapat sertifikat dari DJKI. OJK dan PP Ekraf menyaratkan HKI dijadikan agunan wajib berupa HKI tercatat/terdaftar. Artinya, bank hanya mau menerima hak merek yang punya sertifikat resmi. Selain itu, ada ketentuan di PP 24/2022 bahwa HKI tersebut sebaiknya sudah dilisensikan kepada pihak lain dan dikomersialkan, agar ada bukti bahwa merek benar-benar bernilai ekonomi.
Tantangan dan Pertimbangan
- Penilaian (valuasi) merek sulit dan belum baku. Belum ada pedoman penilaian HKI yang mapan, sehingga bank harus berhati-hati menentukan nilai wajar merek sebagai jaminan. Tanpa angka nilai objektif, bank sulit menghitung berapa kredit yang aman diberikan. PP 24/2022 sendiri mengamanatkan penggunaan penilai bersertifikat untuk HKI, tetapi kapasitas penilai HKI di Indonesia masih terbatas.
- Eksekusi jika debitur wanprestasi masih abu-abu. Bila nasabah gagal bayar, proses pelelangan atau pengalihan hak merek tidak semudah mengambil aset fisik. Bank dan konsumen harus memperhatikan perjanjian lisensi, moral rights, dan kebijakan DJKI.
- Ketiga, kesiapan bank. Sebagian bank masih awam dengan penanganan HKI. Menerima merek berarti juga harus melatih petugas kredit menilai dan memantau risiko tak berwujud. Karena itu, bank cenderung membatasi merek sebagai agunan kedua atau tambahan, bukan agunan utama. Dalam praktik umum, agunan utama masih berupa barang bergerak/tidak bergerak konvensional.
Secara hukum, merek terdaftar bisa dijadikan agunan di bank melalui jaminan fidusia karena diakui sebagai benda bergerak tak berwujud oleh UU Jaminan Fidusia. Pemerintah mendorong HKI masuk ke skema pembiayaan kredit. Namun, penerapannya masih terbatas oleh persoalan valuasi, prosedur eksekusi, dan kebijakan bank. Hingga kini, merek umumnya hanya dipakai sebagai agunan tambahan yang memperkuat kredit, bukan agunan utama. Bagi pemilik usaha, jika ingin menjadikan merek agunan, perlu memastikan merek terdaftar, nilai ekonomisnya jelas, dan membicarakan dengan bank mengenai persyaratan fidusia.
Jika Anda memerlukan panduan lebih lanjut tentang jaminan fidusia dan hak kekayaan intelektual, tim ahli GOLAW.id siap membantu. Hubungi kami sekarang melalui[email protected] atau klik disini untuk konsultasi dan solusi hukum yang tepat bagi bisnis Anda!