Mengenal Hubungan Industrial dalam Ketenagakerjaan di Indonesia
“Hubungan Industrial menyatukan pengusaha, pekerja, dan pemerintah berlandaskan Pancasila demi lingkungan kerja aman, adil, dan produktif.”
Hubungan industrial merupakan aspek penting dalam dunia ketenagakerjaan yang mengatur hubungan antara pekerja dan pengusaha dalam proses produksi barang atau jasa. Kualitas hubungan industrial akan sangat memengaruhi iklim kerja di perusahaan maupun stabilitas ekonomi secara lebih luas. Hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan akan menciptakan suasana kerja yang kondusif, mendorong produktivitas, dan memberikan kepastian berusaha.
Sebaliknya, hubungan industrial yang buruk dapat memicu konflik, menurunkan semangat kerja, dan merugikan semua pihak. Oleh karena itu, pemahaman mengenai konsep, regulasi, prinsip-prinsip, bentuk-bentuk, serta tantangan hubungan industrial di Indonesia menjadi penting, baik bagi pekerja, pengusaha, maupun pemerintah.
Apa itu Hubungan Industrial?
Secara umum, Hubungan Industrial dapat didefinisikan sebagai sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa, yang terdiri dari tiga unsur utama, yaitu, pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah. Tujuan utamanya adalah menciptakan ketenangan kerja dan iklim usaha yang kondusif, sehingga produktivitas meningkat dan kesejahteraan pekerja dapat terwujud.
Secara hukum, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), mengatur dasar-dasar hubungan kerja dan hubungan industrial secara komprehensif. Dengan landasan itu, hubungan industrial bukan sekadar persaingan kepentingan, melainkan kemitraan yang harmonis, berbagi tanggung jawab, dan menyelesaikan perbedaan melalui musyawarah.
Selain UU Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial juga diatur di dalam Undang- Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU 21/2000) yang menjamin hak pekerja untuk berserikat, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004) yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan melalui mediasi, konsiliasi, arbitrase, hingga gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pemerintah juga menerbitkan berbagai peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri) untuk menjabarkan ketentuan hubungan industrial, misalnya aturan tentang perjanjian kerja, pengupahan, dan kelembagaan hubungan industrial.
Prinsip- Prinsip Dasar Hubungan Industrial di Indonesia
Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan kerja yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah menetapkan pedoman HIP agar hubungan kerja di perusahaan mengutamakan kemitraan dan keadilan sosial. Menurut Kemnaker, ada enam prinsip utama HIP, yaitu:
- Kepentingan Bersama: Menekankan kepentingan serentak pengusaha, pekerja/buruh, masyarakat, dan pemerintah
- Kemitraan: Pengusaha dan pekerja harus saling membutuhkan sebagai mitra dalam produksi
- Pembagian Tugas Fungsional: Setiap pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas dalam perusahaan
- Kekeluargaan dan Gotong Royong: Hubungan kerja berbasis kekeluargaan, tolong-menolong, tanpa pamrih. Nilai gotong royong ini mencerminkan persatuan dan solidaritas sosial.
- Musyawarah untuk Mufakat: Penyelesaian masalah dengan musyawarah, mengedepankan sopan santun serta saling menghormati. Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama tanpa kekerasan.
- Ketenangan dan Kesejahteraan: Suasana kerja yang tenang dan berkelanjutan mendukung peningkatan produktivitas serta kesejahteraan bersama.
Dalam praktiknya, nilai-nilai Pancasila lain juga tercermin dalam HI, seperti keadilan sosial (pembagian hasil usaha secara adil) dan kemanusiaan (penghormatan harkat martabat pekerja). Hubungan industrial Pancasila bertujuan menghilangkan ketegangan kelas dengan menumbuhkan semangat kebersamaan dan keadilan bagi seluruh pihak.
Bentuk dan Sarana Hubungan Industrial
Berbagai lembaga dan mekanisme disebutkan sebagai sarana hubungan industrial oleh Pasal 103 UU 13/2003. Sarana-sarana utama tersebut antara lain:
- Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai wadah perwakilan pekerja/buruh.
- Organisasi Pengusaha sebagai wadah perwakilan pengusaha.
- Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit di tingkat perusahaan, berupa forum resmi bagi pengusaha dan wakil pekerja untuk berdialog.
- Lembaga Kerja Sama Tripartit di tingkat provinsi/nasional, melibatkan pemerintah bersama perwakilan pengusaha dan pekerja.
- Peraturan Perusahaan (PP), yakni aturan yang disusun perusahaan dengan pekerjanya, untuk ketentuan kesejahteraan dan disiplin kerja.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yaitu kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat buruh mengenai syarat-syarat kerja. - Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, termasuk UU dan PP yang berlaku di bidang ketenagakerjaan.
- Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu Pengadilan Hubungan Industrial di peradilan umum.
Dengan sarana-sarana tersebut, pekerja dan pengusaha dapat berunding ataupun menempuh jalur hukum bila muncul perselisihan. Misalnya, serikat buruh dapat memperjuangkan kepentingan melalui negosiasi PKB, sedangkan PHI menangani gugatan perselisihan hak atau PHK tanpa prosedur. Lembaga bipartit dan tripartit memfasilitasi dialog sosial agar perselisihan tidak melebar. Semua ini bertujuan menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang tertib dan adil.
Tujuan dan Manfaat Hubungan Industrial yang Harmonis
Mewujudkan hubungan industrial yang harmonis merupakan tujuan bersama pemerintah, dunia usaha, dan kaum pekerja karena memberikan manfaat nyata bagi semua pihak. Bagi pekerja, hubungan industrial yang baik berarti terciptanya ketenangan dalam bekerja, suasana kerja yang aman, penghormatan terhadap hak-hak normatif, dan jaminan kesejahteraan. Dalam situasi hubungan industrial yang harmonis, pekerja dapat bekerja dengan motivasi tinggi karena hak-haknya dipenuhi dan aspirasinya didengar. Kondisi ini pada gilirannya meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil kerja pekerja.
Bagi pengusaha, hubungan industrial yang harmonis menciptakan ketenangan berusaha. Artinya, operasional perusahaan dapat berjalan lancar tanpa gangguan aksi mogok atau konflik berkepanjangan. Hubungan yang baik dengan pekerja juga meningkatkan loyalitas dan moral karyawan, yang berdampak positif pada efisiensi dan produktivitas perusahaan. Dengan hubungan industrial yang kondusif, pengusaha dapat lebih fokus mengembangkan usaha, melakukan inovasi, dan ekspansi bisnis.
Tantangan dan Isu-Isu dalam Praktik Hubungan Industrial di Indonesia
Meskipun kerangka hukum dan kelembagaan hubungan industrial sudah tersedia, dalam praktiknya masih terdapat berbagai tantangan dan isu yang kerap muncul di Indonesia. Perselisihan hubungan industrial masih sering terjadi, terutama terkait hak-hak normatif pekerja. Beberapa jenis konflik yang umum antara lain:
- Perselisihan hak (misalnya sengketa pembayaran upah, jaminan sosial, lembur, atau hak cuti yang tidak dipenuhi perusahaan);
- Perselisihan kepentingan (misalnya deadlock dalam perundingan kenaikan upah atau perubahan syarat kerja dalam PKB);
- Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti sengketa mengenai alasan PHK atau besaran pesangon, serta perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Kasus-kasus PHK massal, penangguhan pembayaran upah minimum, atau sengketa status pekerja kontrak-outsourcing juga kerap mewarnai hubungan industrial di berbagai daerah.
Dari sisi hubungan antara pekerja dan manajemen, tantangan lainnya adalah membangun trust (kepercayaan) dan komunikasi yang baik. Tidak jarang terjadi jurang komunikasi yang mengakibatkan mispersepsi. Misalnya, kebijakan perusahaan yang tidak disosialisasikan dengan baik bisa memicu resistensi pekerja. Sebaliknya, aspirasi atau keluhan pekerja yang tidak ditanggapi dapat menumpuk menjadi konflik.
Hubungan industrial merupakan fondasi bagi terciptanya iklim ketenagakerjaan yang kondusif di Indonesia. Dengan dasar hukum yang terdiri dari UU Ketenagakerjaan 2003 beserta perubahan melalui UU Cipta Kerja, pemerintah berupaya mengatur keseimbangan hak dan kewajiban pekerja-pengusaha secara adil. Prinsip-prinsip hubungan industrial Pancasila memberikan arah bahwa hubungan kerja harus dilandasi semangat kekeluargaan, gotong royong, keterbukaan, dan musyawarah untuk mufakat. Guna mewujudkan hal tersebut, berbagai sarana hubungan industrial telah dibentuk, mulai dari serikat pekerja, asosiasi pengusaha, forum bipartit-tripartit, perjanjian kerja bersama, hingga mekanisme penyelesaian sengketa.
Ingin mengetahui Hubungan Industrial lebih lanjut? Hubungi tim GOLAW.id sekarang juga melalui sales@golaw.id atau klik disini untuk berkonsultasi.
Author : Aulina Nadhira